Perkembangan
usaha adalah suatu bentuk usaha kepada usaha itu sendiri agar dapat berkembang
menjadi lebih baik lagi dan agar mencapai pada satu titik atau puncak menuju
kesuksesan. Perkembangan usaha di lakukan oleh usaha yang sudah mulai terproses
dan terlihat ada kemungkinan untuk lebih maju lagi.
Pemberdayaan
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang
strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari
sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja
dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Dengan demikian upaya untuk
memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran
makro, meso dan mikro yang meliputi (1) penciptaan iklim usaha dalam rangka
membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha
disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan sistem pendukung usaha bagi
UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat
memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber
daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan kewirausahaan dan keunggulan
kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4) pemberdayaan usaha skala
mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan
usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih
berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk
berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi
kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.
Perkembangan
peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar ditunjukkan oleh
jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan
nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase jumlah
UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha
menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3
juta unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. UMKM telah
menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga
kerja pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit.
Jumlah tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya
dari posisi tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah
sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun
2000. Sementara itu pada tahun 2003, jumlah koperasi sebanyak 123 ribu unit
dengan jumlah anggota sebanyak 27.283 ribu orang, atau meningkat masing-masing
11,8 persen dan 15,4 persen dari akhir tahun 2001.
Berbagai
hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan
UMKM pada tahun 2004 dan 2005, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya
berbagai rancangan peraturan perundangan, antara lain RUU tentang penjaminan
kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang perkreditan perbankan bagi
UMKM, RPP tentang KSP, tersusunnya konsep pembentukan biro informasi kredit
Indonesia, berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai
kabupaten/kota dan terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah,
terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu
pengusaha mikro dan kecil di 24 propinsi, berkembangnya jaringan layanan
pengembangan usaha oleh BDS providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi
BDS providers Indonesia, meningkatnya kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit
KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di sektor agribisnis, terbentuknya
pusat promosi produk koperasi dan UMKM, serta dikembangkannya sistem insentif
pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis teknologi di bidang
agroindustri. Hasil-hasil tersebut, telah mendorong peningkatan peran koperasi
dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan
pemerataan peningkatan pendapatan.
Perkembangan
UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya
peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya
produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM
yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan
teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan
terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar,
serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh
UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang
mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut perolehan legalitas
formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar bagi UMKM di
Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan
perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan
usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur
kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha
lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek
berkoperasi yang benar (best practices) telah menyebabkan rendahnya kualitas
kelembagaan dan organisasi koperasi. Bersamaan dengan masalah tersebut,
koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh
pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan
bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi.
Secara
umum, perkembangan koperasi dan UMKM dalam tahun 2006 diperkirakan masih akan
menghadapi masalah mendasar dan tantangan sebagaimana dengan tahun sebelumnya,
yaitu rendahnya produktivitas, terbatasnya akses kepada sumber daya produktif,
rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, dan tertinggalnya
kinerja koperasi.
PROFIL
DAN SEBARAN USAHA KECIL
Ada
dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha
kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1
milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha, paling banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). Kedua, menurut
kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil
dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasrakan jumlah
pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2)
industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja
20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999:
250).
Kendati
beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai
karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang
jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil
dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola
perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya.
Data BPS (1994) menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah
mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri
(tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang
menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha
kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.
Kedua,
rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga
mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau
sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan
rentenir.
Ketiga,
sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan
hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak
sebanyak 124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang
tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta
notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV,
Firma, atau Koperasi).
Keempat,
dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari
seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman
dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam
(ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan
sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing-masing berkisar
antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang
bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih
sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%.
KARAKTERISTIK
USAHA KECIL
Kementerian
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mencatat bahwa jumlah usaha kecil adalah sebanyak 44,6 juta unit atau
99,84 % dari total jumlah unit usaha pada tahun 2005. Dari sejumlah usaha
tersebut, tenaga kerja yang mampu diserap adalah sebanyak 71,2 juta atau
sebesar 88,7%dari total tenaga kerja. Namun demikian, Pendapatan Domestik Bruto
(PDB) yang mampu disumbangkan oleh usaha kecil tersebut baru sebesar Rp 1
triliun atau sebesar 42,8% dari total PDB.
Dari
data tersebut, tampak bahwa jumlah usaha kecil sangat dominan dibandingkan
dengan kelompok skala usaha lainnya. Di samping itu, peran usaha kecil dalam
menyerap tenaga kerja relative besar. Penyerapan tenaga kerja tersebut
selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian,
penumbuhan usaha kecil menjadi suatu kebijakan strategis dan efektif dalam
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam upaya
penumbuhan usaha kecil tersebut, perlu diketahui karakteristik serta
permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh usaha kecil. Pada umumnya, usaha
kecil mempunyai cirri antara lain sebagai berikut :
-
Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum perusahaan
-
Aspek legalitas usaha lemah
-
Struktur organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku
-
Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan
antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan
-
Kualitas manajemen rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha
-
Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi
-
Sumber Daya Manusia (SDM) terbatas
-
Pemilik memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh
kewajiban perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.
Kondisi
tersebut berakibat kepada:
-
Lemahnya jaringan usaha serta keterbatasan kemampuan penetrasi pasar dan
diversifikasi pasar
-
Skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya
-
Margin keuntungan sangat tipis
Para
pelaku bisnis adalah agen membutuhkan kemampuan untuk memobilisasi modal,
memanfaatkan sumber daya alam, menciptakan pasar dan mempertahankan bisnis
mereka. Dia mampu mengkombinasikan kekuatan, kemampuan, kapasitas untuk
mengelola sumber daya untuk memanfaatkan kesempatan² menjadi kegiatan yang
menguntungkan. Meskipun dikatakan bahwa pengusaha tidak diciptakan, juga
disepakati bahwa pengusaha tidak dilahirkan sebagai seorang pengusaha.
Fakta-fakta ini mengarahkan kita pada kenyataan bahwa para pengusaha yang
mempunyai potensi dapat mempelajari bisnis, berorientasi, meningkatkan motivasi
dan dirangsang untuk memulai bisnis. Demikian pula, orang-orang dengan potensi
tertentu (akan menjadi pengusaha / wanita) harus diidentifikasi dan
dikembangkan melalui pelatihan. Apalagi saat ini Indonesia sedang berupaya
untuk mengatasi kondisi krisis pada saat ini, maka usaha² skala kecil sangat
membutuhkan kemampuan bertahan atau bahkan dikembangkan.
TANTANGAN
DAN MASALAH
Memang
cukup berat tantangan yang dihadapi untuk memperkuat struktur perekonomian
nasional. Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan
kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. Namun disadari pula bahwa
pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan,
ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran
dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini
mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik.
Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah:
Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar.
Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh
jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi
dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha
kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim
usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam,
pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan
serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.
Secara
garis besar, tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua
kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya
tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya.
Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka
umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya
modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami
bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat
membantu modal kerja mereka.
Kedua,
bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang
dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan
ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha
Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah
(Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan
manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan
untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan
PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi
syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun
perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4)
Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh
perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah
memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan
bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6)
Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah
menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai
perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja
karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.
STRATEGI
PENGEMBANGAN USAHA KECIL
Untuk
itu harus ada strategi yang tepat, yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut
ini.
Pertama,
peningkatan akses kepada aset produktif, terutama modal, di samping juga
teknologi, manajemen, dan segi-segi lainya yang penting. Hal ini telah banyak
dibahas dalam berbagai forum, seminar, kepustaka an dan sebagainya.
Kedua,
peningkatan akses pada pasar, yang meliputi suatu spektrum kegiatan yang luas,
mulai dari pencadangan usaha, sampai pada informasi pasar, bantuan produksi,
dan prasarana serta sarana pemasaran. Khususnya, bagi usaha kecil di perdesaan,
prasarana ekonomi yang dasar dan akan sangat membantu adalah prasarana
perhubungan.
Ketiga,
kewirausahaan, seperti yang telah dikemukakan di atas. Dalam hal ini
pelatihanpelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
berusaha teramat penting. Namun, bersamaan dengan atau dalam pelatihan itu
penting pula ditanamkan semangat wirausaha. Bahkan hal ini harus diperluas dan
dimulai sejak dini, dalam sistem pendidikan kita, dalam rangka membangun bangsa
Indonesia yang mandiri, yakni bangsa niaga yang maju dan bangsa industri yang
tangguh. Upaya ini akan memperkuat proses transformasi ekonomi yang sedang
berlangsung karena didorong oleh transformasi budaya, yakni modernisasi sistem
nilai dalam masyarakat.
Keempat,
kelembagaan. Kelembagaan ekonomi dalam arti luas adalah pasar. Maka memperkuat
pasar adalah penting, tetapi hal itu harus disertai dengan pengendalian agar
bekerjanya pasar tidak melenceng dan mengakibatkan melebarnya kesenjangan.
Untuk itu diperlukan intervensi-intervensi yang tepat, yang tidak bertentangan
dengan kaidah-kaidah yang mendasar dalam suatu ekonomi bebas, tetapi tetap
menjamin tercapainya pemerataan sosial (social equity). Untuk itu, memang
diperlukan pranata -pranata yang dirancang secara tepat dan digunakan secara
tepat pula. Di antaranya adalah peraturan perundangan yang mendorong dan
menjamin berkembangnya lapisan usaha kecil sehingga perannya dalam perekonomian
menjadi bukan hanya besar, tetapi lebih kukuh. Dengan Undang-undang tentang
Usaha Kecil Tahun 1995, dan Undangundang tentang Perkoperasian Tahun 1992,
sesungguhnya aturan dasar itu telah kita miliki. Kedua undang-undang itu telah
mengatur pencadangan dan perlindungan usaha serta menyiapkan strategi pembinaan
usaha kecil termasuk koperasi. Demikian pula telah ada berbagai kebijaksanaan,
baik makro seperti dalam bidang moneter mengenai perkreditan, maupun sektoral
termasuk berbagai program pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk pengadaan
pemerintah melalui APBN, APBD, dan anggaran BUMN juga telah ditetapkan
pengutamaan penggunaan produksi barang dan jasa usaha kecil pada skala-skala tertentu.
Semuanya itu tinggal dimantapkan. Undang-undang yang telah ada harus dilengkapi
dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya dan dilaks anakan dengan konsekuen
dan sepenuh hati.
Kelima,
kemitraan usaha. Kemitraan usaha merupakan jalur yang penting dan strategis
bagi pengembangan usaha ekonomi rakyat. Kemitraan telah terbukti berhasil
diterapkan di negara-negara lain, sepeti keempat macan Asia, yaitu Taiwan,
Hongkong, Singapore, dan Korea Selatan, dan menguntungkan pada perkembangan
ekonomi dan industrialisasi mereka yang teramat cepat itu.
Dengan
pola backward linkages akan terkait erat usaha besar dengan usaha menengah dan
kecil, serta usaha asing (PMA) dengan usaha kecil lokal. Salah satu pola
kemitraan yang juga akan besar artinya bagi pengembangan usaha kecil jika
diterapkan secara meluas adalah pola subkontrak (sub-contracting), yang
memberikan kepada industri kecil dan menengah peran pemasok bahan baku dan
komponen, serta peran dalam pendistribusian produk usaha besar.
Kemitraan,
seperti sudah sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan, bukanlah
penguasaan yang satu atas yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil.
Kemitraan harus menjamin kemandirian pihak-pihak yang bermitra, karena
kemitraan bukan merger atau akuisisi. Untuk dapat berjalan secara
berkesinambungan (sustainable), kemitraan harus merupakan konsep ekonomi, dan
karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra, dan bukan konsep sosial atau
kedermawanan. Kemitraan jelas menguntungkan yang kecil, karena dapat turut
mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, kewirausahaan, dan manajemen
yang dikuasai oleh usaha besar. Akan tetapi, kemitraan juga menguntungkan bagi
yang besar karena dapat memberikan fleksibilitas dan kelincahan, di samping
menjawab masalah yang sering diha dapi oleh usaha -usaha besar yang disebut
diseconomies of scale. Kemitraan dengan demikian dapat meningkatkan daya saing
baik bagi usaha besar maupun usaha kecil. Dengan kemitraan bisa dikendalikan
gejala monopoli, tetapi tetap diperoleh efisiensi dan sinergi sumber daya yang
dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra.
PENGEMBANGAN
USAHA KECIL DAN MENENGAH
Pengembangan
usaha kecil dan menengah dalam menghadapi pasar regional dan global harus
didasari pada upaya yang keras dan terus menerus dalam menjadikan UKM sebagai
usaha yang tangguh. Oleh karena itu produk yang diusahakan UKM
sekurang-kurangnya mempunyai keunggulan komparatif, bahkan sangat diharapkan
mempunyai keunggulan kompetitif. Pendekatan klaster bisnis merupakan upaya
pengembangan usaha UKM secara sistemik, sehingga UKM yang ada di dalamnya
mempunyai peluang untuk menjadi usaha yang handal dan kompetitif.
Strategi
pengembangan usaha UKM harus atas dasar kekuatan dan tantangannya, oleh karena
itu harus ditopang secara kuat terutama oleh adanya akses ke sumber dana,
pasar, sumber bahan baku, teknologi, informasi dan manajemen.
SEKILAS
MENGENAI EKONOMI DAN PENTINGNYA UKM
Prospek
ekonomi dunia diprakirakan membaik pada tahun 2004 dan selanjutnya melambat
pada tahun 2005-2006. Di lain pihak prospek ekonomi Indonesia tahun 2004-2006
diprakirakan terus membaik, ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat
secara bertahap hingga sekitar 6 % pada tahun 2006. Kemudian dilihat dari
kontribusi sektoral, maka sektor industri, sektor perdagangan dan sektor pertanian
diprakirakan menjadi sektor utama pertumbuhan PDB tahun 2004-2006 (Miranda
S.Goeltom, 2004). Walaupun terdapat kecenderungan perbaikan perekonomian
Indonesia di masa mendatang sebagai dampak dari kondisi ekonomi global,
regional dan adanya perbaikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang
kegiatan ekonomi domestik, tampaknya perlu diwaspadai kemungkinan adanya
beberapa isu kritis yang sering menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara,
diantaranya adalah:
(1)
Tingginya pengangguran
(2)
Rendahnya investasi
(3)
Biaya ekonomi tinggi
Isu
tingginya penganguran dan ekonomi biaya tinggi merupakan isu lama dan klasik
yang selama ini belum dapat diatasi dengan baik. Kemudian isu rendahnya
investasi merupakan produk dari kekurang percayaan investor terhadap kondisi
perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya masalah politik dan keamanan.
Kemungkinan isu kritis tersebut berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi
Indonesia ke depan. Oleh karena itu, harus cepat direspon oleh semua pihak,
terutama pihak pemerintah khususnya dalam menen-tukan kebijakan pengembangan
ekonomi nasional pada tahun 2005-2009.
Pengalaman
Indonesia selama tiga puluh tahun kebelakang terutama pada tujuh tahun
terakhir, memberikan informasi dan sekaligus pelajaran berharga bagi kita,
bahwa pada masa lalu runtuhnya perekonomian Indonesia ternyata sebagai akibat
dari kekurang mampuan pengambil keputusan di pemerintahan Indonesia saat itu
dalam merespon berbagai isu kritis, seperti telah disebutkan di atas. Pada saat itu perekonomian Indonesia hanya
bertumpu pada beberapa usaha skala besar (konglomerat). Oleh karena itu, respon
yang cepat dan tepat terutama oleh pihak pemerintah terhadap isu kritis yang
selalu menghantui kegiatan perekonomian tersebut akan sangat bermanfaat bagi
kemungkinan ketahanan dan sekaligus keamanan perekonomian Indonesia di masa
mendatang. Dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan
yang Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004 115 sama kepada kegiatan usaha kecil dan
menengah (UKM) untuk dapat maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya,
merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi ketahanan dan keamanan perekonomian
Indonesia di masa mendatang. Ini artinya bahwa UKM harus dapat tumbuh dengan
baik, sehingga masalah mengenai pengangguran, rendahnya minat investasi dan
ekonomi biaya tinggi dapat berkurang secara nyata.
Manggara
Tambunan (2004) menyebutkan bahwa setelah krisis ekonomi berjalan selama tujuh
tahun, salah satu pelajaran berharga yang dapat diambil adalah bahwa:
(1)
Ekonomi Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan peranan usaha besar,
(2)
Usaha kecil menengah (UKM) memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan
dengan usaha besar karena UKM lebih efisien
(3)
Hingga sekarang belum ada kejelasan kebijakan industri dan bagaimana yang
diadopsi agar lebih mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja bagi pengangguran dan kemiskinan.
Usaha
kecil dan menengah merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dan
pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk menciptakan pertumbuhan
dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi
dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga menciptakan lapangan
pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dan mereka juga cukup
terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan
perdagangan.
Di
Indonesia, sumber penghidupan amat bergantung pada sector UKM. Kebanyakan usaha
kecil ini terkonsentrasi pada sector perdagangan, pangan, olahan pangan,
tekstil dan garmen, kayu dan produk kayu, serta produksi mineral non-logam.
Mereka bergerak dalam kondisi yang amat kompetitif dan ketidakpastian; juga
amat dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro. Lingkungan usaha yang buruk lebih
banyak merugikan UKM daripada usaha besar.
Agar
dapat berkompetisi secara efektif, UKM dituntut untuk dapat menekan biaya
produksi mereka dengan mengadopsi teknologi usaha yang tepat guna. Aktivitas
subkontrak adalah jalan yang paling umum ditempuh untuk menekan sejumlah biaya
dan ini telah berperan penting dalam kesuksesan integrasi UKM ke dalam usaha
yang lebih dinamis, yaitu sektor industri yang berorientasi ekspor, seperti
yang terjadi di Jepang dan Republik Korea. Aktivitas subkontrak sampai saat ini
belum meluas di Indonesia. Kenyataan yang terjadi, kebanyakan kesempatan pasar
ini terhambat karena kebijakan yang ada secara efektif mencegah UKM untuk
menjadi subkontraktor bagi perusahaan lain kecuali untuk aktivitas yang
dirasakan hanya sebagai penunjang bagi aktivitas perusahaan.
Peraturan
yang mengurangi pilihan untuk aktivitas subkontrak, telah mengurangi kesempatan
bagi UKM untuk mendapatkan akses penting dan menguntungkan pada sejumlah pangsa
pasar potensial, serta menghambat pertumbuhan sektor UKM. Pemerintah harus
mengkaji ulang peraturan mengenai ketenagakerjaan dan khususnya UU no 13 tahun
2003 pasal 65 dimana pemerintah memberikan pengertian tentang pekerjaan apa
yang boleh dan tidak boleh menggunakan aktifitas outsource.
Pendidikan
bisnis dan pendidikan professional di Indonesia saat ini telah tertinggal. Agar
masyarakat dapat memiliki semangat kewirausahaan, upaya-upaya baru dan radikal
yang mengarah kepada pendidikan lebih tinggi dalam skala besar tertentu amat
sangat dibutuhkan. Kurikulum harus terfokus kepada pengembangan nilai-nilai
kewirausahaan, kebudayaan, promosi terhadap inovasi, penguasaan keahlian
manajerial yang modern dan spesialisasi profesi. Pemerintah dapat mendorong
perkembangan UKM melalui skema pendidikan yang lebih baik, yang terbagi dalam
dua bidang:
Pertama,
Pemerintah harus memasukkan pendidikan dasar bisnis yang baik dan berkualitas
ditingkat SMU dan Perguruan Tinggi Keahlian bisnis yang sangat mendasar dan
sangat dibutuhkan adalah: akuntansi dan keuangan, perencanaan bisnis, sumber
daya manusia, hukum dan asuransi, pemasaran dan penjualan, keahlian operasional
dan teknologi.
Kedua,
Pemerintah harus mendorong investasi dalam bidang institusi pelatihan swasta
yang memberikan berbagai macam pelatihan bisnis khusus jangka pendek yang
modern. Institusi-institusi ini dapat membantu manajemen UKM untuk mencapai
tingkat efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi serta memperkenalkan
teknik operasional yang baru
Sehubungan
dengan permasalahan secara umum yang dialami oleh UKM, Badan Pusat Statistik
(2003) mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi oleh UKM sebagai berikut:
-
Kurang permodalan
-
Kesulitan dalam pemasaran
-
Persaingan usaha ketat
-
Kesulitan bahan baku
-
Kurang teknis produksi dan keahlian
-
Keterampilan manajerial kurang
-
Kurang pengetahuan manajemen keuangan
-
Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan)
STRATEGI
PENGEMBANGAN UKM
Strategi
yang diterapkan dalam upaya mengembangkan UKM di masa depan terlebih dalam
menghadapi pasar bebas di tingkat regional dan global, sebaiknya memperhatikan
kekuatan dan tantangan yang ada, serta mengacu pada beberapa hal sebagai
berikut:
(1)
Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu
mendorong pengembangan UKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan
(2)
Mempermudah perijinan, pajak dan restribusi lainnya
(3)
Mempermudah akses pada bahan baku, teknologi dan informasi
(4)
Menyediakan bantuan teknis (pelatihan, penelitian) dan pendampingan dan
manajemen
(SDM,keuangan
dan pemasaran) melalui BDSP.
(5)
Secara rutin BDSP melakukan pertemuan, lokakarya model pelayanan bisnis yang
baik dan
tepat
(6)
Mendorong BDSP untuk masingmasing memiliki keahlian khusus (spesialis),
seperti: di bidang Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004 120 Pengembangan SDM,
Keuangan, Pemasaran. Ini terutama diperlukan bagi upaya pelayanan kepada usaha
menengah yang pasarnya regional dan global
(7)
Menciptakan sistem penjaminan kredit (financial guarantee system) yang terutama
disponsori
oleh
pemerintah pusat dan daerah
(8)
Secara bertahap dan berkelanjutan mentransformasi sentra bisnis (parsial)
menjadi kluster
bisnis
(sistemik).
Sumber:
http://michelle04.wordpress.com/2011/03/09/makalah-kewirausahaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar