PENDAHULUAN
Negara Republik
Indonesia telah membuat segala peraturan – peraturan mengenai perpajakan.
Sebagai Warga Negara Indonesia yang taat akan aturan maka pajak wajib
dilaksanakan oleh semua Warga Negara Indonesia. Ada pribahasa yang mengakatan “
Orang Bijak taat Bayar Pajak” dan “Bangga Bayar Pajak”. Sebelumnya kita harus
tahu terlebih dahulu apa itu Pajak dan Bagaimana proses pembayarannya?
Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang dapat dipaksakan
dengan tiada mendapat jasa secara langsung. Pajak pun memiliki dasar hukum
tersendiri. Dasar hukum ketentuan umum dan Tata cara Perpajakan adalah
undang-undang NO. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang No. 28 Tahun 2007. Lau siapakah yang harus membayar pajak ? dalam
peraturan perpajakan ada istilah Wajib Pajak. Wajib Pajak yang bisa disingkat
dengan sebutan WP adalah orang pribadi atau badan (subjek pajak) yang menurut
ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib pajak bisa berupa wajib pajak
orang pribadi atau wajib pajak badan. Jadi wajib pajak adalah orang pribadi
atau badan. Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki
penghasilan di atas pendapatan tidak kena pajak.
PEMBAHASAN
Di Indonesia, setiap orang wajib
mendaftarkan diri dan mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kecuali
ditentukan dalam undang - undang. NPWP ini wajib di miliki oleh wajib
pajak yang berfungsi sebagai identitas wajib pajak dan menjadi persyaratan dalam
pelayanan umum, misalnya passpor, kredit bank dan lelang. Untuk Memperoleh
NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau KP2KP dengan mengisi
formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi yang diperlukan.
Setelah Wajib
Pajak memiliki Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) segeralah wajib pajak mengisi
Formulir Surat Pemberitahuan (SPT) yang sudah disediakan. Surat Pemberitahuan
(SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan
dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.
Contoh formulir
Surat Pemberitahuan (SPT)
Surat
Pemberitahuan (SPT) ini juga berfungsi sebagai sarana melaporkan dan
mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang bagi
wajib Pajak, bagi pengusaha Kena Pajak melaporkan dan mempertanggung jawabkan
perhitungan jumlah PPN yang sebenarnya terutang dan bagi pemotong/pemungut
pajak melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang di potong dan disetorkan.
Pengambilan formulir Surat
Pemberitahuan (SPT) harus di ambil sendiri di Kantor Pelayanan Pajak (KPP),
Kantor Pelayanan Perpajakan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP dan dapat
menggandakan dengan bentuk dan isi yang sama dengan aslinya.
Penyerahan formulir Surat Pemberitahuan
(SPT) dapat dilakukan secara langsung ke KPP/KP2KP dan melalui pos dengan
pengiriman surat.
Wajib pajak tidak hanya mengisi formulir Surat Pemberitahuan (SPT) tetapi Wajib
pajak selanjutnya harus melakukan pembayaran pajak itu sendiri. Ketika wajib
pajak akan membayar pajak tersebut, wajib pajak pun harus melengkapi Surat
Setoran Pajak (SSP).
Contoh Formulir Surat Setoran Pajak
(SSP).
Surat setoran pajak (SSP) adalah bukti
pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak dengan
menggunakan formulir. Untuk diketahui bahwa satu formulir SSP hanya dapat
digunakan untuk pembayaran satu jenis pajak dan untuk satu Masa Kerja atau satu
tahun.
Lembaga
Pemerintahan yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jendral
Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jendral yang ada di bawah
naungan Kementrian Keuangan Republik Indonesia. Wajib pajak pun dalam membayar
atau menyetorkan pajak dapat dilakukan di :
a. Kantor pos
b. Bank Badan Usaha
Milik Negara
c. Bank Badan Usaha
Milik Daerah
d. Tempat pembayaran
lainya yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Di tinjau dari
Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu : Pajak negara dan
Pajak Daerah. Pajak negara yang dipungut oleh Pemerintah Pusat salah satu nya
adalah pajak penghasilan yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1993 tentang Pajak
Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU Nomor 36 tahun 2008.
Pajak
Penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan
atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif,
proporsional atau regresif.
1. Subyek pajak dalam negeri yang terdiri
dari:
1. Subyek pajak orang pribadi, yaitu:
Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan, atau
Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
2. Subyek pajak badan, yaitu badan yang
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
3. Subyek pajak warisan, yaitu warisan yang
belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subyek pajak luar negeri yang terdiri
dari:
a. Subyek pajak orang pribadi, yaitu
orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan yang:
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
dapat diterima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
3. Subyek pajak badan, yaitu badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang:
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia.
Perbedaan yang penting
antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam
pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
- Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
- Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan; dan
- Wajib Pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Tidak Termasuk sebagai Subjek Pajak
Pengecualian sebagai subjek pajak diatur
dalam Pasal 3 UU
No. 36 Tahun 2008, dimana dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak
termasuk sebagai Subjek Pajak adalah:
a. Kantor
Perwakilan Negara Asing ;
b. Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
Bukan Warga Negara Indonesia
Tidak menerima penghasilan lain diluar
tugas dan jabatannya
Negara yang bersangkutan memberikan
perlakuan yang sama (azas timbal balik).
c. Organisasi-organisasi
Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (terakhir
dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005, dengan syarat:
1. Indonesia
menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat
perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat bukan WNI, dan di
Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Penjelasan
Pasal 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan
kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara
asing beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal
bersama mereka dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta
negara asing tersebut memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik),
dikecualikan sebagai subjek pajak. Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila
mereka memperoleh penghasilan lain di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka
adalah WNI.
Dengan
demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh penghasilan
lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan
pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut
memberikan pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain
diluar tugas dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Pasal 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam KMK
seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non
pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk
dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan
pejabat perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung
oleh induk organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas
atau jabatan dalam organisasi tersebut di Indonesia.
2. Obyek Pajak dan Pengecualian Obyek Pajak
Pihak yang menjadi objek pajak
penghasilan adalah penghasilan. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan
ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:
a. Penghasilan
dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji,
honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaries, aktuaris, akuntan,
pengacara, dan sebagainya.
b. Penghasilan
dari usaha dan kegiatan.
c. Penghasilan
dari modal atau penggunaan harta seperti bunga, dividen, royalty, sewa,
keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak digunakan untuk usaha, dan
sebagainya.
d. Penghasilan
lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok sebelumnya, seperti keuntungan karena pembebasan utang, hadiah undian,
keuntungan karena selisih kurs valuta asing, keuntungan dari selisih lebih
penilaian kembali aktiva, dan sebagainya.
Jenis penghasilan yang dikenakan pajak
atau disebut Objek Pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU PPh adalah sebagai
berikut:
a. Penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang.
b. Hadiah
dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan.
c. Laba
usaha.
d. Keuntungan
karena penjualan atau pengalihan harta.
e. Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
f. Bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang.
g. Dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun (termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis) dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
h. Royalti.
i.
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
j.
Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
k. Keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
l.
Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
m. Selisih lebih
karena penilaian kembali aktiva.
n. Premi
asuransi.
o. Iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri atas
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Dikecualikan dari PPh menurut ketentuan
Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000 adalah:
a. Bantuan
atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat
yang berhak. 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Warisan.
c. Harta
termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf b UU PPh sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.
d. Penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah.
e. Pembayaran
dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi
kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa.
f. Dividen
atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri, Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan atau berkedudukan
di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen
tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2. Bagi
perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah yang
menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di
luar kepemilikan saham tersebut.
g. Iuran
yang diterima atau diperoleh dana pension yang pendiriannya telah disahkan
Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
h. Penghasilan
dari modal yang ditanamkan oleh dana pension, dalam bidang-bidang tertentu yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
i.
Bagian laba yang diperoleh atau diterima anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi.
j.
Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5
(lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
k. Penghasilan
yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari
badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan
perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor
usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
2. Sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
C. BIAYA YANG
BOLEH DIKURANGKAN DAN PENGECUALIANNYA
Biaya-biaya
yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak adalah biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, termasuk biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan kegiatan usaha, penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta
berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya
lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, iuran kepada dana pensiun
yang pendiriannya disahkan Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau
pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan, kerugian selisih
kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia, biaya beasiswa, magang, dan pelatihan, piutang yang
nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat-syarat yang diatur dalam
undang-undang, sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional,
sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia,
biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan, dan
sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga.
Sedangkan
biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto antara lain
pembagian laba, biaya untuk kepentingan pribadi, pembentukan dana cadangan yang
ketentuannya diatur dalam undang-undang, premi asuransi yang dibayar oleh WP
orang pribadi, penggantian sehubungan dengan pekerjaan dalam bentuk natura
dengan pengecualian yang diatur dalam PMK, jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayar kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa,
hibah, bantuan atau sumbangan kecuali yang disebut di atas, warisan, pajak
penghasilan, gaji untuk anggota persekutuan, firma, atau CV, serta sanksi
administrasi.
D. KOMPENSASI
KERUGIAN
Jika
pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat
(1) UU Pajak Penghasilan seperti tersebut di atas setelah dikurangkan dari
penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut dimulai sejak
tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Contoh Perhitungan kompensasi kerugian:
PT. Tridewo dalam tahun 1995 menderita
kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000. Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba
rugi fiskal PT. Tridewo sebagai berikut :
|
|
|
E. PENYUSUTAN,
AMORTISASI, DAN REVALUASI AKTIVA
Penyusutan
Untuk menghitung penyusutan, masa
manfaat, dan tarif penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok
Harta Berwujud
|
Masa
Manfaat
|
Tarif
Penyusutan
|
|
Garis Lurus
|
Saldo Menurun
|
||
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
II. Bangunan
Permanen
Tidak Permanen
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
20 tahun
10 tahun
|
25 %
12,5 %
6,25 %
5 %
5 %
10 %
|
50 %
25 %
12,5 %
10 %
|
Saat
penyusutan dapat dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, pada bulan harta
berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan (dengan izin dari Dirjen
Pajak). Sedangkan untuk harta yang masih dalam pengerjaan, penyusutannya
dimulai pada bulan pengerjaan harta tersebut selesai.
Amortisasi
Amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan goodwill yang mempunyai masa manfaat
lebih dari satu tahun dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas
pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat
diamortisasi. Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali
untuk bidang usaha tertentu.
Untuk menghitung amortisasi, masa
manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok
Harta
Tak Berwujud
|
Masa
Manfaat
|
Tarif
Amortisasi
|
|
Garis
Lurus
|
Saldo
Menurun
|
||
Kelompok 1
Kelompok 2
Kelompok 3
Kelompok 4
|
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
|
25 %
12,5 %
6,25 %
5 %
|
50 %
25 %
12,5 %
10 %
|
Kelompok,
metode, dan tarif amortisasi di atas berlaku juga pada pengeluaran untuk biaya
pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan, dan pengeluaran yang
dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun.
Revaluasi Aktiva
Perbedaan nilai buku dengan nilai riil
aktiva perusahaan dapat mengakibatkan kurang serasinya perbandingan antara
penghasilan dengan beban, dan nilai buku dengan nilai intrinsik perusahaan.
Untuk mengurangi perbedaan tersebut, kepada WP perlu diberikan kesempatan untuk
melakukan penilaian kembali aktiva tetap yang dapat dilakukan oleh WP Badan
dalam negeri yang telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa
pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
Aktiva tetap yang dapat dilakukan
penilaian kembali adalah semua aktiva berwujud dalam bentuk tanah, kelompok
bangunan dan bukan bangunan yang tidak dimaksudkan untuk dialihkan atau dijual
yang terletak atau berada di Indonesia. Penilaian kembali dihitung berdasarkan
nilai pasar atau nilai wajar yang berlaku.
F. PENENTUAN
HARGA PEROLEHAN
Pada
umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah
harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah
harga yang sesungguhnya diterima. Biaya yang dikeluarkan sepeti bea masuk,
biaya pengangkutan, dan biaya pemasangan termasuk kedalam harga perolehan.
Sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa, harga perolehan adalah jumlah
yang seharusnya diterima atau dikeluarkan.
Nilai
perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Nilai
perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Persediaan dan pemakaian
persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan
yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan
yang diperoleh pertama.
G. PAJAK FINAL
Ada
beberapa jenis penghasilan (objek pajak) yang dikenakan pemotongan atau
pemungutan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang dikenakan pemotongan
atau pemungutan PPh yang bersifat final, tetap dilaporkan dalam Surat
Pemberutahuan (SPT), hanya saja jumlahnya tidak dijumlahkan dengan penghasilan
lainnya. Pajak yang sudah dipotong tidak diperhitungkan sebagai Kredit Pajak.
Beberapa penghasilan yang dikenai pajak yang bersifat final antara lain bunga
deposito, hadiah undian, penghasilan dari transaksi saham, transaksi pengalihan
harta berupa tanah/bangunan, usaha jasa konstruksi, dan penghasilan tertentu lainnya.
H. NORMA
PENGHITUNGAN
Norma penghitungan adalah pedoman untuk
menentukan besarnya penghasilan neto. Penggunaan norma penghitungan dilakukan
karena tidak terdapat dasar perhitungan yang lebih baik, atau pembukuan
diselenggarakan secara tidak benar. Orang
Pribadi yang boleh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto:
- Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) atau lebih dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pembukuan.
- Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di bawah Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali Wajib Pajak yang bersangkutan memilih menyelenggarakan Pembukuan.
- Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, menghitung penghasilan neto usaha atau pekerjaan bebasnya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Sesuai dengan UU PPh yang baru yaitu UU
Nomor 36 tahun 2008 maka sejak 1 Jan 2009 batasan Wajib Pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang boleh menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan berubah dengan peredaran bruto di bawah Rp.
1.800.000.000,00 menjadi Rp 4.800.000.000.
I. HUBUNGAN ISTIMEWA
Hubungan
istimewa diantara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain. Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak
mempunyai hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25 % atau
lebih secara langsung atau tidak langsung;
2. Wajib Pajak
menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih WP berada dibawah penguasaan
yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan
Istimewa
·
Untuk menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak tidak boleh dikurangkan jumlah yang melebihi kewajaran yang
dibayarkan kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan (Pasal 9
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000).
Menteri Keuangan
berwenang mengeluarkan Surat Keputusan mengenai besarnya perbandingan antara
utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
Menteri Keuangan
berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri
pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di
bursa efek, sepanjang:
- Besarnya
penyertaan modal tersebut sekurang-kurangnya 50% dari jumlah saham yang disetor
; atau
- Secara
bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal
sebesar 50% atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
Wajib pajak
dalam negeri wajib menghitung dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah
pajak sebanding dengan penyertaannya (equity
method) pada Badan Usaha di luar negeri yang bersangkutan.
- Pada
bulan ke-4 setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT PPh Badan
Usaha di luar negeri.
- Pada
bulan ke-7 setelah tahun pajak berakhir, dalam hal di negara yang bersangkutan
tidak terdapat kewajiban penyampaian SPT PPh atau tidak ada batas waktu
penyampaian SPT PPh.
- Apabila
kemudian di bagi dividen yang melebihi jumlah yang dihitung berdasarkan equity method di atas, kelebihannya
harus dilaporkan dalam SPT PPh pada tahun dibagikannya dividen tersebut.
- PPh
atas dividen yang dibayar di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan Pasal
24 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 pada tahun pajak dilakukannya
pembayaran/pemotongan pajak di luar negeri tersebut.
- Apabila
sebelum batas waktu yang ditentukan di atas dilakukan pembagian dividen yang
menjadi hak wajib pajak, maka penghitungan sesuai dengan ketentuan di atas
tidak perlu dilakukan.
Dirjen Pajak
berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan (biaya) serta
besarnya utang dan modal dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak bagi
wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa.
Dirjen Pajak
berwenang mengadakan perjanjian dengan wajib pajak atau bekerjasama dengan
otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi yang dipengaruhi
hubungan istimewa selama periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta
melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.
Dalam undang – undang pajak penghasilan menyatakan bahwa
penghasilan merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Dalam konteks
orang pribadi, penghasilan dapat berasal kegiatan usaha, pekerjaan bebas
ataupun penghasilan – penghasilan lainya.
Penghasilan pajak sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan
dari yang berhubungan dengan pekerjaan
yang berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain. Dalam hal
ini penghitugan pajak akan mengacu pada ketentuan Undang – undang Pajak
Penghasilan Pasal 21 (PPh 21).
Penghasilan dalam negeri lainnya
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah dan penghasilan
lain – lain yang diterima atau diperoleh wajib pajak sendiri, istri dan
anak/anak angkat yang belum dewasa dalam tahun pajak bersangkutan.
Direktorat Jendral Pajak (DJP) telah
menetapkan peraturan tentang tarif dan penerapannya adalah sebagai berikut :
1. Pegawai tetap, penerima pensiun bulanan, bukan pegawai yang memiliki NPWP
dan menerima penghasilan secara berkesinambungan dalam 1 (satu) tahun dikenakan
tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh dikalikan dengan Penghasilan
Kena Pajak (PKP). PKP dihitung berdasarkan sebagai berikut:
a. Pegawai Tetap: Penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan (5% dari
penghasilan bruto, maksimum Rp 6.000.000,00 setahun atau Rp 500.000,00
sebulan); dikurangi iuran pensiun, Iuran jaminan hari tua, dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
b. Penerima Pensiun Bulanan: Penghasilan bruto dikurangi biaya pensiun (5%
dari penghasilan bruto, maksimum Rp 2.400.000,00 setahun atau Rp 200.000,00
sebulan) dikurangi PTKP.
c. Bukan Pegawai yang memiliki NPWP dan menerima penghasilan secara
berkesinambungan: 50 % dari Penghasilan bruto dikurangi PTKP perbulan.
2. Bukan Pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenakan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a dikalikan dengan 50% dari jumlah penghasilan bruto
untuk setiap pembayaran imbalan yang tidak berkesinambungan;
3. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan dikenakan tarif
Pasal 17 ayat (1) huruf a dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto untuk
setiap kali pembayaran yang bersifat utuh dan tidak dipecah;
4. Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan calon pegawai, serta
pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah
satuan, upah borongan dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp.150.000
sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp. 1.320.000,00
dan atau tidak dibayarkan secara bulanan, maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam
sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah
dikurangi Rp. 150.000,00. Bila dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi
Rp.1.320.000,00 sebulan, maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu
hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang
bersangkutan dibagi 360.
5. Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI yang menerima honorarium dan imbalan
lain yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah
dipotong PPh Ps. 21 dengan tarif 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final,
kecuali yang dibayarkan kepada PNS Gol. IId kebawah, anggota TNI/POLRI Peltu
kebawah/ Ajun Insp./Tingkat I kebawah.
6. Besar PTKP adalah :
Penerima PTKP
|
Setahun
|
Sebulan
|
untuk diri
pegawai
|
Rp 15.840.000
|
Rp 1.320.000
|
tambahan
untuk pegawai yang sudah menikah(kawin)
|
Rp 1.320.000
|
Rp 110.000
|
tambahan
untuk setiap anggota keluarga *) paling banyak 3 (tiga) orang
|
Rp 1.320.000
|
Rp 110.000
|
7. *) anggota keluarga adalah anggota keluarga sedarah dan semenda dalam satu
garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
8. Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan adalah:
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif
|
sampai dengan Rp 50 juta
|
5%
|
diatas Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta
|
15%
|
diatas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta
|
25%
|
diatas Rp 500 juta
|
30%
|
9.
Bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif 20 % lebih tinggi
dari tarif PPh Pasal 17.
Itulah tarif
dan cara penerapan pajak penghasilan yang sudah ditentukan oleh Direktorat
Jendral Pajak. Dalam Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a
Undang-undang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan orang pribadi
meningkat seiring dengan meningkatnya penghasilan. Prinsip yang mendasari pajak
progresif adalah bahwa mereka yang memiliki kemampuan lebih (kaya) harus
menanggung beban lebih besar dari total penerimaan pajak negara dari mereka
yang kurang mampu. Jadi orang pribadi yang berpenghasilan rendah tidak hanya
membayar pajak lebih sedikit, tapi mereka membayar persentase yang lebih kecil
dari pendapatan mereka dalam bentuk pajak. Dari berbagai jenis pajak, pajak
progresif inilah yang paling sejalan dengan tujuan meningkatkan kesetaraan
pendapatan.
Dari semua penjelasan di atas bahwasanya pajak itu sangat penting dalam
kehidupan bernegara. Dan pajak penghasilan merupakan instrumen dalam kestabilan
politik dan ekonomi bagi bangsa secara keselurahan. Maka dari itu sebagai warga
negara Indonesia yang baik bayarlah pajak tepat pada waktunya.
Disini akan di contohkan Cara penghitungan Pemotongan Pasal 21, diantaranya
:
1.
Penghasilan Pegawai Tetap yang diterima Bulanan
a.
Khaerunnisa adalah pegawai tetap di PT Cempaka Warna sejak 1 Januari 2011.
Ia memperoleh gaji beserta tunjangan berupa uang sebulan sebesar
Rp.3.000.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp. 50.000,00 sebulan.
Khaerunnisa menikah tetapi belum mempunyai anak (status K/0). Penghitungan PPh
Ps. 21:
Penghitungan PPh Ps. 21 terutang:
Gaji Sebulan = Rp. 3.000.000
Penghasilan bruto = Rp. 3.000.000
Pengurangan: Biaya Pensiun = 5% x 3.000.000 = Rp. 150.000
Iuran pensiun = Rp. 50.000 (+)
Total Pengurangan = Rp. 200.000
Penghasilan netto sebulan = Rp. 2.800.000
Penghasilan netto setahun = 12 x 2.800.000 = Rp. 33.600.000
PTKP setahun:
Penghitungan PPh Ps. 21 terutang:
Gaji Sebulan = Rp. 3.000.000
Penghasilan bruto = Rp. 3.000.000
Pengurangan: Biaya Pensiun = 5% x 3.000.000 = Rp. 150.000
Iuran pensiun = Rp. 50.000 (+)
Total Pengurangan = Rp. 200.000
Penghasilan netto sebulan = Rp. 2.800.000
Penghasilan netto setahun = 12 x 2.800.000 = Rp. 33.600.000
PTKP setahun:
WP sendiri
= Rp. 15.840.000
Tambahan WP kawin = Rp. 1.320.000
Total PTKP = Rp. 17.160.000
PKP setahun = Rp. 16.440.000
PPh Ps. 21= 5 % x 16.440.000 = Rp. 822.000
PPh Ps. 21 sebulan = Rp. 68.500
PKP setahun = Rp. 16.440.000
PPh Ps. 21= 5 % x 16.440.000 = Rp. 822.000
PPh Ps. 21 sebulan = Rp. 68.500
2.
Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dagangan atau petugas dinas luar
asuransi.
a.
Andi seorang penjaja barang dagangan hasil produksi PT Erlangga dan berstatus
bukan pegawai, dalam bulan Januari 2010 menerima komisi sebesar Rp3.000.000,00.
Andi tidak memiliki sumber penghasilan lainnya. Penghitungan PPh 21 :
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a x [(50% x jumlah penghasilan bruto ) - PTKP perbulan]:
= 5% x [(50% x Rp3.000.000,00) - Rp 1.320.000,00]
= Rp 9.000,00
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a x [(50% x jumlah penghasilan bruto ) - PTKP perbulan]:
= 5% x [(50% x Rp3.000.000,00) - Rp 1.320.000,00]
= Rp 9.000,00
3.
Honorarium atau imbalan lainnya kepada peserta kegiatan (pendidikan pelatihan
magang).
a.
Siti Rani sebagai peserta magang menerima honor sebesar Rp3.000.000,00. PPh
Pasal 21 yang terutang :
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a x jumlah penghasilan bruto = 5% x Rp3.000.000,00 = Rp150.000,00
Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a x jumlah penghasilan bruto = 5% x Rp3.000.000,00 = Rp150.000,00
4.
Penghasilan atas Upah Harian.
a.
Erni (tidak memiliki NPWP) pada bulan Agustus 2010 bekerja sebagai buruh harian
pada PT Hini Daiki. Ia bekerja sehari sebesar Rp 300.000,00. Penghitungan PPh
Pasal 21 terutang :
Upah sehari Rp 300.000,00
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh Rp 150.000,00
PKP Sehari Rp 150.000,00
PPh Pasal 21 Sehari = (5% x 120%*) x Rp 150.000,00 Rp 9.000,00
(* karena Erfin tidak memiliki NPWP maka tarifnya 20% lebih tinggi dari Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a atau 5% x 120% = 6%)
Upah sehari Rp 300.000,00
Batas Upah harian yang Tidak di potong PPh Rp 150.000,00
PKP Sehari Rp 150.000,00
PPh Pasal 21 Sehari = (5% x 120%*) x Rp 150.000,00 Rp 9.000,00
(* karena Erfin tidak memiliki NPWP maka tarifnya 20% lebih tinggi dari Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a atau 5% x 120% = 6%)
5.
Penghasilan atas Pegawai Negeri Sipil
a. Riki, Pegawai Negeri Sipil Golongan
III/c, menduduki eselon IV.a status kawin, mempunyai 3 orang tanggungan, telah
memiliki NPWP, bekerja di Kantor Dinas Kependudukan Kota Tasikmalaya.
Penghasilan
Bulan Januari 2011 sebagai
berikut:
Gaji Pokok
2.244.500,00
Tunjangan
Istri 224.450,00
Tunjangan
anak 89.780,00
Tunjangan
Jabatan 540.000,00
Tunjangan
beras 198.000
Pembulatan
43,00
Untuk
menghitung PPh pasal 21 atas Aprinta adalah sebagai berikut:
Gaji Pokok
|
2,244,500.00
|
||
Tunjangan Istri
|
224,450.00
|
||
Tunjangan Anak Rp
|
89,780.00
|
||
Tunjangan Jabatan
|
540,000.00
|
||
Tunjangan Beras
|
198,000.00
|
||
Pembulatan
|
43.00
|
||
Jumlah penghasilan bruto
|
3,296,773.00
|
||
pengurangan
|
|||
biaya jabatan 5% x 3.296.773
|
164,838.65
|
||
Iuran pensiun 4,75% x 2.558.730,00
|
121,540.00
|
||
286,378.65
|
|||
Penghasilan netto sebulan
|
3,010,394.35
|
||
Penghasilan netto disetahunkan
|
36,124,732.20
|
||
PTKP
|
|||
WP sendiri
|
15,840,000.00
|
||
WP kawin
|
1,320,000.00
|
||
Tanggungan @ 1.320.000 maks 3
orang
|
3,960,000.00
|
||
21,120,000.00
|
|||
Penghasilan kena pajak
|
15,004,732.20
|
||
Penghasilan kena pajak dibulatkan
|
15,004,000.00
|
||
PPh pasal 21 =5% x 15.004.000,00
|
750,200.00
|
||
PPh pasal 21 sebulan = 750.200/12
|
62,516.67
|
PENDAPAT
Pajak mempunyai
peranan penting dalam kehidupan negara, khususnya dalam pelaksanaan
pembangunan, karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai
pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Pajak
penghasilan orang pribadi merupakan salah satu instrumen untuk mengatasi
ketimpangan distribusi pendapatan antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi
dan rendah. Kemiskinan, ekonomi yang rendah merupakan kendala dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat suatu negara. Untuk mewujudkan fungsi distribusi
pendapatan, tarif pajak penghasilan pribadi di Indonesia mengenakan tarif pajak
progresif dimana masyarakat yang berpenghasilan tinggi akan dikenakan tarif
pajak yang lebih tinggi. Pengenaan tarif pajak yang dibebankan kepada
masyarakat sesuai dengan kemampuan ekonominya.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo, (2008), Perpajakan, Edisi Revisi, Penerbit Andi
Offset, Yogyakarta.
Resmi, Siti, (2007), Perpajakan
Teori dan Kasus, Edisi Ketiga, Penerbit Salemba Empat: Yogyakarta.
http://pajaktaxes.blogspot.com/2009/01/bukan-subjek-pajak.html
http://belajarpajak.com/2009/02/21/subjek-pajak-penghasilan
http://pelayanan-pajak.blogspot.com/2009/02/pengertian-subjek-pajak.html
http://www.klinik-pajak.com/2008/norma-penghitungan-penghasilan-neto.html